Mengapa Budaya Membaca Masyarakat Rendah?

Rendahnya budaya membaca di indonesia membuat masyarakat kita hanya menjadi pihak penerima, penikmat, bahkan jadi korban, bukan menjadi pihak pencipta atau penentu. 

Merilis dari website resmi kominfo.go.id disebutkan bahwa Unesco (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan bahwa minat baca Indonesia hanya 0,0001 dari seribu atau dari 1000 orang hanya satu orang yang gemar membaca.

Jika kondisi tersebut tidak berubah, maka negara kita akan sulit maju. Bahkan masyarakat kita hanya akan menjadi korban dari negara-negara maju.

Analoginya seperti lukisan Rembrant, The Anatomy Lesson Of dr Tulp. Penulis memahaminya dari film Drama Korea H.U.S.H dimana dalam film tersebut CEO Media  menjelaskan arti lain dari lukisan tersebut

lukisan Rembrant, sumber https://en.wikipedia.org/

Baca Juga : Dilema Sang Penasehat Kota

Selain mengambarkan perkembangan ilmu kedokteran, lukisan itu menyimbolkan dokter ibarat Media atau Ilmuan, yakni pihak yang rajin membaca dan menciptakan karya.

Lalu orang-orang yang melihat proses bedah seperti masyarakat yang hanya mau membaca. 

Sedangkan mayat yang sedang dibedah adalah simbol untuk orang-orang yang tidak suka membaca.

Salah satu penyebab rendahnya minat membaca penulis temukan dalam website kominfo; penyebabnya adalah 

1. Hampir seluruh Masyarakat Indonesia memiliki Gaway/gadget, terdapat 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget sehingga buku cetak kurang diminati.

2. Kurangnya fasilitas untuk mengakses informasi, atau kurangnya pemberdayaan perpustakaan di seluruh negeri.

Penulis  kurang setuju dengan penyebab pertama dan sedikit mengangguk dengan alasan kedua. 

Menurut hemat penulis, rendahnya budaya membaca bukan hanya karena gaway dan kurangnya fasilitas, tetapi ada penyebab lain yang membuat budaya membaca Indonesia rendah, yaitu :

1. Kurangnya idola/teladan membaca

2. Tidak adanya apresiasi ke pembaca/peneliti.

Pertama, masyarakat kita tidak memiliki tokoh idola seorang pembaca yang bisa dikagumi atau diteladani. 

Baca Juga: Daftar Online Sekolah Literasi 

Saat ini kita masih pada tahap mengidolakan artis, atlit atau politikus. Bila kita melihat keseharian para tokoh publik tersebut mungkin hanya 2-3 orang saja yang gemar membaca. 

Bahkan sangat disayangkan orang no.1 di negeri kita hanya gemar membaca komik. Sebuah bacaan ringan yang tidak membutuhkan daya nalar tinggi.

Penulis berharap para tokoh publik harus lebih sering menunjukkan buku yang ia gemari. 

Mungkin bisa dengan setiap bulan pemimpin atau mereka yang memiliki nama besar mengatakan kepada media; "bulan ini saya sedang membaca buku ini, dan bulan depan saya akan membaca buku ini." Kalimat itu tentu akan sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat kita yang mengidolakannya.

Baca Juga : Jurusan Perpustakaan, Masa Depan Suram?

Penulis sadar ada ratusan seminar atau webinar tentang meningkatkan budaya membaca yang diselenggarakan oleh pemerintah atau kampus. 

Namun, hal itu percuma jika isinya hanya membahas teknik mengelola bahan pustaka menjadi digital saja, apalagi pengisi seminar bukan seorang maniak buku. Atau dalam istilah pencinta buku disebut bibliophile.

Dalam membangun budaya membaca bukan para pegawai tekhnis yang dibutuhkan melainkan para pecinta buku dan media entertaintmen. 

Para pecinta buku akan tahu betapa nikmatnya memegang dan membaca buku, dan dunia entertainmen akan tahu cara mengemasnya menjadi menarik agar menghipnotis masyarakat untuk latah meniru.

Kita masuk ke alasan kedua, Ilmuan indonesia kita kurang terkenal, dan tentu karena kurang diapresiasi oleh negara. Sehingga, sangat sedikit ilmuan yang diekspose media.  Merilis dari situs lipi.go.id kepala lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof dr Umar Anggara Jenie Apt. MSc menyebutkan bahwa apresiasi terhadap insan peniliti masih rendah, sehingga mereka mengaplikasikan ilmunya di luar negeri.

Apresiasi terhadap penggerak literasi juga masih rendah. Seperti guru, penulis, peneliti, pustakawan, & penerbit.  

Jika negara benar-benar memberikan apresiasi kepada para penggerak budaya membaca maka seharusnya kesejahteraan mereka harus lebih diperhatikan. 

Negara harus memberi dana besar bagi ilmuan yang melakukan penelitian. Memberi keringanan pajak kepada penulis buku, menghargai jasa kepahlawanan guru, mensejahterahkan pustakawan, dan mendukung penerbit-penerbit buku.

Dan yang paling penting para tokoh publik harus lebih sering melakukan expose ke media tentang buku-buku apa yang mereka baca.

Salam literasi

Penulis : arjuna


Post a Comment

0 Comments

OPAC (KATALOG BUKU ONLINE)