[Cerpen} Dilema Sang Penasehat Kota



Di kota kami, merupakan satu kewajiban mendengarkan wejangan dari penasehat kota setiap sabtu pagi.

Semua orang dari berbagai suku, agama, ras, dan kelompok senantiasa berkumpul dan menonton beliau, sembari menunggu kalimat ajaib nya dan kami pun melaksanakannya dengan patuh.

Sang penasehat adalah manusia kharismatik dan sangat dimuliakan. Setiap orang yang mendengar pasti akan terpana dengan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut beliau.

Bahkan, karena nasihatnya tingkat perekonomian kota kami semakin hari semakin membaik. Kota Kami menjadi kota yang sangat makmur. Tidak ada lagi fakir miskin, setiap satu orang mampu membantu seratus orang. Kami menjadi masyarkat yang sangat dermawan karena kami tahu harta tidak akan dibawa mati.

Contohnya si Budiman, dulu ia adalah pemulung sampah yang menyisiri setiap gang dan menggaruk beberapa tempat sampah. Namun, saat ini, ia adalah seorang pengusaha di bidang pengolahan limbah. Begitu juga dengan si Cambong, dulu ia hanya menjual jajanan cilok keliling kota dengan sepeda buntutnya, kini ia menjelma menjadi pemilik beberapa restoran.

Sungguh-sungguh ajaib motivasi yang diberikan sang penasehat.

Lima tahun sudah kami mengalami kemajuan. Orang kaya ada dimana-mana. Tidak ada lagi orang tua yang menolak pinangan pemuda kota ini. Jangan heran kalau kota lain sangat berharap anak perawannya dipinang oleh jantan-jantan kota kami.

Salah satunya pemuda bernama kandar. Ia berhasil mempersunting Ines, wanita cantik nan sempurna yang sangat kaya raya, keturunan konglomerat. Kulitnya putih kemerahan, beramput hitam namun kadang dibalut hijab, berpipi sedikit chuby, dan  ahhhh matanya sangat indah. Ia kini telah memilki tiga anak hasil percintanya dengan Kandar. Padahal, lima tahun lalu, bukan main penolakan yang dilakukan ayah ines kepada kandar.

Aku ingat sekali kalimat yang diucapkan ayah ines kepada kandar sewaktu ia masih  menganggur, “Pergi sana!!! Dasar pengangguran, beraninya kau melamar anakku, kau punya apa. Ha! bahkan membeli korek telinga pun pasti kau tak mampu.”

Waw! Bukan main sakitnya hati kandar mendengar itu. Tapi entah kenapa ayah ines mengucapkan satu kalimat sebelum menutup pintu, “Buktikan kalau kau pantas meminang anakku.”

Dan kandarpun menyanggupi tantangan Ayah Ines.

Tiba suatu hari, kami mendapat kabar yang sangat mengejutkan. Sang penasehat sudah dipanggil oleh penciptanya. Ia telah pergi meninggalkan kami yang bodoh. Beliau orang berilmu, dia adalah ulama kami, ucapannya adalah panduan kami. Sang penasehat telah meninggal dunia. Kini posisinya digantikan oleh orang lain. Kata mereka dia juga lumayan berilmu.

Di sabtu pagi ia memberikan naseihatnya kepada kami,
Kita semua adalah orang yang taat beragama, oleh karena itu kita harus tinggalkan kemewahan dunia. Jangan terlena dengan harta, jadilah orang yang sederhana
Semua hening

Wahai orang kaya, Ingatlah! Hidup ini tidak selamanya. Percuma kalian memiliki harta yang banyak namun iman kalian sedikit.!” Sambungnya lagi dengan berapi-api.

Kami terbelangak menatapnya. Ceramahnya ditayang oleh semua media ke seluruh penjuru kota.
Nasehatnya disamput oleh kaum papa, sebagian dari mereka bertepuk tangan dan sebagian lain mengerutkan dahi.

Namun, karena sang penasehat sangat dihormati kami pun mabut. dan sudah menjadi tradisi kami mematuhi penasehat kota.

Beberapa orang kaya menyumbangkan seluruh harta bendanya ludes dan mereka pun tinggal di rumah kecil seperti kaum papa lainnya.

Makanya jangan jadi orang kaya, Imanmu rendah, mending seperti kami. Kami hidup sederhana, tapi iman kami tinggi karena kami yakin tuhan menyayangi kami.” Ejek kaum Papa.

Tapi kami tetap rajin beribadah dan berbagi.” Orang kaya membela diri.

Cueh.. Semua orang kaya itu sombong, kalian beribadah agar dikira orang alim, dan berbagi agar dihargai orang saja.” Kebencian kaum papa semakin menjadi-jadi.

Bukan… bukan begit….”

“Aaaalah!! Sudahlah. Tidak ada orang kaya yang baik, semua hanya sandiwara. Sekarang kalin sudah menjadi orang tidak berada seperti kami. Sang penasehat itu benar-benar mengerti yang kami rasakan. Hanya orang tidak berada seperti kita yang memiliki iman tinggi, betul tidak saudara-saudara?"

Betul.. betul..” Jawab kaum papa lain beramai-ramai.

Kehidupan kota ini benar –benar berubah,  sang penasehat semakin giat memberi fatwa dan kami pun terpaksa melaksanakannya.

Setahun berlalu. Banyak orang yang melarat. Ada yang menjadi pengemis, pemulung, dan pencuri. Ada juga yang sakit-sakitan dan meninggal karena tidak punya harta untuk berobat.

Si budiman, pengusaha limbah kini sudah jatuh miskin dan melarat. Ia kembali memulung. Si Cambong, restoran nya bangkrut. Ia bahkan tidak bisa lagi berjualan cilok karena tidak punya uang sepersen pun.

Masalah ini semakin besar ketika orang asing datang ke kota kami. Mereka mendirikan toko dan perusahaan besar lalu menjadikan masyarakat kota ini sebagai budak bisnisnya.

Kami pun geram pada sang penasehat. Namun jawabannya sungguh membuat emosi kami semakin membara.

“Bersabarlah bapak ibu, ikhlaslah. Tuhan bersama kita, biarkan mereka ambil dunia ini, kita cukup berserah diri saja!”

Sungguh-sungguh kasihan kotaku. Orang-orang yang kukenal berhasil kini sudah menggembel. Dan tahu kah kalian nasib si Kandar? Sekarang ia sudah ditalak istrinya. Ah..mana ada istri yang menalak suami, namun itu kenyataannya. Ines meninggalkannya dan menikah dengan pemuda kota lain. Perih. Kandar menduda.

Kami kembali bertanya kepada sang penasehat kota, “Kenapa jadi begini!!!?

“Aku pun tidak tahu.” Jawab sang penasehat seperti orang bego.

Post a Comment

0 Comments

OPAC (KATALOG BUKU ONLINE)